AKAR tradisi masyarakat yang memelihara kebiasaan
leluhur, sering berdampak positif. Salah satunya tradisi mengobati
penyakit dengan memanfaatkan tanaman di sekitar tempat tinggal.
Masyarakat tradisional mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar
sehingga memahami tanaman yang bermanfaat untuk dijadikan makanan maupun
untuk mengobati suatu penyakit.
Pengetahuan masyarakat
tradisional dalam mengobati penyakit merupakan karya yang luar biasa dan
bisa dikatakan sebagai kekayaan bangsa. Karena itulah kemudian banyak
yang memanfaatkan aset bangsa ini menjadi sebuah referensi dalam bidang
pengobatan hingga memunculkan istilah obat herbal. Dipadukan dengan
teknologi modern, kini pemanfaatan tanaman untuk pengobatan tampak makin
berkembang, mudah dikonsumsi dan mudah dicari.
Khasiat tanaman
obat yang sudah dirasakan masyarakat tradisional selanjutnya banyak yang
diuji secara klinik. Hasilnya tak sedikit obat dalam kemasan modern
juga menggunakan tanaman obat dalam kandungannya.
Karena sejumlah
tanaman obat sudah terbukti secara klinis, masyarakat pun menunjukkan
respon yang baik. Dari upaya mengenali, menanam hingga mencoba meracik
tanaman obat untuk menangani penyakit serta membudidayakan. Respon yang
besar ini kemudian memunculkan istilah toga atau tanaman obat keluarga.
Istilah toga merujuk pada upaya setiap keluarga untuk membudidayakan
tanaman obat sesuai kebutuhan dan kemampuan masyarakat.
Hal ini
seperti dirasakan Soemaryono (69), pembudidaya tanaman obat dan pemilik
rumah herbal Sari Toga di Cipamokolan Bandung. Pengenalan dan rasa
penasaran Maryono -panggilan Soemaryono- terhadap toga membawanya untuk
semakin tekun mempelajari toga secara mendalam. Tak sedikit kursus
tentang ilmu toga dan herbal diikutinya. Setelah yakin, ia pun mencoba
toga untuk menangani beberapa penyakit untuk dirinya sendiri maupun
keluarganya.
Setelah terbukti khasiatnya, ia pun berani memberikan
ilmu pada orang lain baik kepada tetangga, saudara maupun kepada sesama
pensiunan di PT Pos Indonesia. Maryono pun kemudian mengemas sejumlah
toga menjadi serbuk dan kapsul agar mudah dikonsumsi.
Dalam
berbagi ilmu, ia suka menjelaskan beberapa penanganan penyakit ringan
seperti sariawan, batuk, sakit kepala, flu, demam dan lainnya.
Untuk
batuk, ia memanfaatkan daun jinten sebagai obatnya. Daun yang bahasa
latinnya disebut Coleus amboinicus Lour atau Coleus aromatic Benth ini
biasa dia rebus untuk diambil airnya seperti yang juga dijelaskan dalam
buku Tanaman Obat Indonesia untuk Pengobat Jilid 3.
Maryono
menjelaskan, sebanyak 5 daun jinten berukuran 5-7 centimeter ia cuci
sebelum direbus. Untuk merebus daun jinten, ia menggunakan dua gelas air
minum. Ia merebusnya hingga airnya menguning dan setelah agak hangat
barulah airnya diminum.
"Kalau sudah mulai batuk dan asma saya
kambuh, saya langsung merebus daun jinten. Setelah diminum, khasiatnya
akan terasa dalam dua atau tiga hari. Tenggorokan rasanya jadi nyaman
serta napas jadi lebih lega," ujar Maryono.
Selain daun jinten, ia
pun sering memanfaatkan tanaman adas untuk batuk lainnya terutama batuk
berdahak. Adas yang dalam bahasa latinnya disebut Foeniculum vulgare
Mill ini di Indonesia dikenal dengan nama daerah antara lain adas manis,
adhas kowei, adas pedas, hades, dan adase (Tanaman Obat Indonesia untuk
Pengobat Jilid 1).
Maryono menggunakan bijinya untuk meringankan
batuk. Biji sebanyak 5 gram yang sudah dibersihkan direbus dengan
setengah gelas air. Setelah itu disaring dan dicampur madu untuk
kemudian diminum sehari dua kali.
Pengalamannya membudidayakan dan
mengonsumsi toga, membuat Maryono tak ragu untuk menularkan
pengetahuannya pada orang lain. Salah satunya seperti dilakukan H Maisir
(74) rekannya saat masih bekerja di PT Pos. H Maisir memanfaatkan
pekarangannya di kawasan Riung Bandung dengan menanam sejumlah toga
seperti daun jinten, ruku-ruku dan tapak kuda. Selain untuk obat batuk,
beberapa tanaman ini juga dimanfaatkan untuk mengobati sariawan,
meringankan pernapasan dan menyegarkan badan. Bahkan ia pun tak ragu
untuk memberikan racikan tanaman obat kepada cucunya yang masih 6 tahun
bila terserang batuk. Khusus untuk cucunya, ia memberi tambahan madu
secukupnya untuk memberi rasa manis yang natural bagi anak-anak.
Mengenai
toga yang dilakukan Maryono dan H Maisir ini juga telah menjadi program
yang digalakan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil. Sebelum menjadi Wali
Kota, Ridwan sudah melakukan gerakan penghijauan melalui aktivitasnya di
Bandung Creative City Forum. Demikian pula setelah menjabat Wali Kota,
Ridwan memperkuat penghijauan dengan program Urban Farming atau Bandung
Berkebun.
Salah satu tujuan program ini adalah menggerakan warga
Bandung untuk mau menanam di rumahnya sesuai kemampuan meski hanya dalam
sebuah pot. Selain tanaman berbunga dan berbuah, Bandung Berkebun juga
menggalakan tanaman yang berupa sayuran dan juga tanaman obat. Kini
perkembangan toga makin massif, selain di rumah-rumah, toga juga ditanam
di taman-taman milik pemerintah, di lingkungan RW, sekolah-sekolah, di
perusahaan swasta maupun di komunitas tertentu.
Masalah tanaman
obat yang makin sering dikonsumsi masyarakat, banyak ahli pengobatan
baik tradisional maupun modern tidak memermasalahkan. Bahkan keunggulan
tanaman obat atau herbal ini sangat dirasakan masyarakat. Salah satunya
karena hampir tidak memiliki efek samping yang menjadikannya makin
dipercaya masyarakat.
Hal ini juga ditegaskan Emilia E. Achmadi,
MS, yang merupakan Clinical Dietitian sekaligus pakar di bidang nutrisi
dan pencegahan penyakit dalam siaran persnya. Emilia mengatakan, ada
bahan-bahan alami yang bisa digunakan untuk mengatasi batuk. "Kalau saya
sudah mulai merasa pita suara bengkak, saya seduh teh, tumbuk jahe dan
saya campurkan. Kalau untuk anak-anak saya beri madu sedikit," katanya.
Selain
itu, kata dia, ada bahan alami lainnya yang sangat populer di luar
negeri dan mempunyai efek menenangkan. "Licorice ada di dalam obat batuk
hitam, tidak menimbulkan efek samping dan rasanya dapat diterima,"
jelasnya.
Karena itulah, sejumlah produsen obat memanfaatkan bahan
alami ini dalam kandungan obat batuknya. Satu di antaranya dilakukan
produsen OBH Combi. Menurut Senior Brand Manager OBH Combi Aryana
Jasiman mengatakan, kandungan Licorice (Succus Liquorice) atau dalam
bahasa Latin Glycyrrhiza Glabra ini sudah dimanfaatkan sejak 2000 tahun
yang lalu, karena berfungsi sebagai anti inflamatory dan anti alergi.
"Secara
ilmiah kandungannya juga diakui oleh WHO, Chinese Pharmakope dan Herbal
Pharmakope, British Herbal Compendium, dan German Standard Licence,"
ujarnya dalam siaran pers kepada Tribun Jabar beberapa waktu lalu.
Karenanya,
kata dia, produk OBH Combi memanfaatkan Licorice dalam komposisi obat
batuknya, selain bahan alamiah lainnya. "Licorice sebagai ekspektoran
dan antitusif yang bekerja secara perifer, modifikasi viskositas cairan
pada saluran pernafasan juga relaksasi otot polos sehingga mengurangi
intensitas batuk. Licorice juga mempermudah sekresi dalam mekanisme
batuk antitusif ada yang bekerja secara perifer dan sistem saraf pusat.
(darajat arianto)
No comments:
Post a Comment
Gunakan bahasa yang patut, sopan dan santun demi kenyamanan bersama.